Menapakkan kaki ini di atas bumi, berjalan sendiri di jalanan setapak, terlihat kecil, berliku, dan sepi. Perjalanan ini masih jauh, jauh sekali untuk bisa sampai di puncak. Berjalan setapak demi setapak untuk menuju dataran tertinggi. Itulah tujuannya. Yang terpenting bukan sampai kapan kamu bisa sampai puncak, tapi bagaimana prosesnya supaya bisa sampai kesana. Proses ini sama halnya dengan seseorang yg putus cinta. Bisa diibaratkan begitu karena hal ini mengajari kita bagaimana bisa menjadi seseorang yang kuat setelah terpisah dari orang yang disayang, seseorang yang diinginkan menjadi orang terakhir yang menemani kisah hidupnya. Namun, kenyataan tak sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk sebagian orang, mengungkapkan cinta itu tidak mudah. Sekali dia bilang cinta, berarti seseorang itu berhasil mengetuk pintu hatinya dan bisa masuk ke dalam. Akan tetapi, selalu ingatlah “ada pertemuan pasti ada perpisahan”. Dua hal (pertemuan dan perpisahan) yang tak bisa dipisahkan.
Dekat dengan seseorang yang mempunyai persamaan begitu menyenangkan. Meskipun ada persamaan, sudah pasti setiap individu mempunyai banyak perbedaan. Adanya persamaan dan perbedaan membuat kita bisa tertarik pada orang lain. Oleh karena itu, efek dari ketertarikan bisa menimbulkan bahagia, sedih, terluka, bahkan kecewa.
Namaku Ribby, seorang mahasiswi semester 7. Kisah drama yang berakhir dengan hal tak terduga ini dimulai saat aku semester 5. Yah, tepat liburan setelah semester 4, seseorang bernama Luki datang dalam hidupku. Melalui jejaring sosial facebook kita mulai berkomunikasi. Chatting-an, sms-an, telfon, ketemuan, dan jadian. Sebelum saling mengenal lewat facebook, kami sudah saling tahu. Luki adalah seorang presiden BEM di kampusku, sedangkan aku dulu adalah seorang anggota UKM Teater. Di semester 5, aku sudah tidak ikut UKM lagi karena ingin fokus kuliah dan istirahat dari organisasi. UKM teater itu lain daripada yang lain. Selain seru dan menyenangkan, kita harus meluangkan banyak waktu dan pikiran disitu. Ada banyak hal ajaib yang ditemukan dari anak-anak teater. Seseorang yang ikut UKM itu biasanya akan membuat mental mereka lebih bagus dari sebelumnya. Thanks untuk pengalaman itu. Terima kasih untuk pelatih dan saudara-saudara di teater.
Sekarang kembali ke kisah dramaku (hehehe). Aku baru mengetahui Luki saat dia kampanye mencalonkan diri sebagai presiden BEM. Awalnya, tidak ada rasa tertarik sedikitpun pada dia. Sedangkan dia sudah tertarik padaku sejak melihatku kali pertama di kampus (katanya). Dia mencoba mencari tahu siapa aku, sampai akhirnya dia tahu kalau aku adalah salah satu anggota teater. Ketika dia sudah terpilih menjadi presiden BEM, dia bertanya kepada salah satu anggotanya yang juga ikut UKM teater. Siapa namaku, kemudian dia add aku di facebook. Setelah lumayan lama berkomunikasi, ternyata dia orangnya baik, menyenangkan, dan asik. Aku nyaman saat bersamanya. Hari demi hari kita lewati, bulan september 2013 kita resmi jadian.
Jadiannya sangat lucu, dia berani mengungkapkan perasaannya karena takut aku dekat dengan seseorang dari prodi matematika. Dia takut aku jadian duluan sama dia. Padahal, aku juga sudah mulai tertarik pada Luki, meskipun aku tahu seseorang yang dari prodi matematika itu juga baik. Apalagi tanggal lahir kita sama, itu menambah keunikan jika kami bersama. Sampai sekarang hubungan kami masih baik, aku memanggilnya “kakak 2 tahun” karena dia 2 tahun lebih tua dari aku. Dia mundur teratur, tidak mendekati aku lagi ketika tahu aku dan Luki sudah jadian.
Luki membuat cincin dari ranting dan memasangkan di jari manisku, sangat lucu, karena saat itu kami di sebuah tanah lapang jadi banyak ranting di bawah pohon. Aku tidak segera menjawabnya, mau jadian atau berteman saja. Mungkin dia mengira aku menolaknya. Setelah agak lama menunggu, akhirnya aku menerima dia menjadi bagian dalam hidupku. Senyum merekah mengambang di wajahnya, terlihat senang. Aku pun juga sangat senang. Cincin darinya selalu aku simpan, dengan harapan suatu saat kami resmi menjadi pasangan yang halal dan cincin ranting itu berubah menjadi cincin pernikahan.
Beberapa minggu kami bersama sangat membahagiakan. Nama kami juga berinisial bagus “L” dan “R”, Luki dan Ribby. Bisa diganti dengan Left dan Right. Artinya, kiri dan kanan. Dengan kaki kiri dan kanan kami berjalan beriringan, bisa saling menguatkan di kala salah satu kaki lemah ataupun sakit. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai sibuk dengan kegiatannya. Aku berusaha mengerti dan memahami. Tidak masalah sesibuk apapun kegiatannya, asalkan ada kabar sudah cukup untukku. Setidaknya ada satu pesan saja darinya sudah cukup. Bagaimana aku bisa mengerti, kalau dia saja tidak memberi tahu kegiatannya dan tidak memberikan kabar sama sekali. Hingga tiba di batas rasa jenuhku. Jenuh menunggu kabar darinya dan selalu aku yang berusaha mencari tahu sedang apa dia. Kalau dia lama memberikan balasan atau tidak membalas pesanku, aku selalu bertanya kabarnya pada seorang temanku yang ikut BEM juga. Selalu begitu.
Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Meskipun rasa sayang itu lebih banyak, aku tidak kuat menahan perasaan seperti itu. Menunggu tanpa dia tahu kalau aku benar-benar mengkhawatirkannya. Luki mempertahankan aku dan membuatku untuk tetap bersamanya. Kemudian, untuk kedua kalinya hal yang sama terulang kembali. Ku ucapkan kata putus. Dia tidak bisa terima, tapi anehnya dia juga meng-iya-kan keputusanku. Satu hari kemudian, setelah dia pulang dari Kediri karena memberikan bantuan untuk korban Gunung Kelud, Luki datang ke rumah. Sekitar satu jam aku cuek padanya. Dia bilang sayang padaku. Walaupun kemarin putus, dia merasa tidak putus dariku meski rasa kehilangan itu ada. Tidak enak rasanya kehilngan orang yang disayang. Ingatlah, “jangan ada kata mantan lagi, aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku nanti.” Aku tersentuh oleh kata-katanya. Kata-kata itu selalu aku ingat, ”jangan ada lagi kata mantan.”
Setelah kejadian itu hubungan kami membaik. Dia selalu memberiku kabar dan komunikasi terjalin dengan lancar. Namun, hal yang sama terulang. Permasalahannya tetap sama, karena tidak ada komunikasi menjadi duri dalam satu hubungan. Sebagai wanita, siapa yang tahan tidak pernah dihubungi, tidak diberi kabar sama sekali oleh pacarnya. Sesibuk apapun seseorang, pasti sempat sekedar mengucapkan “selamat tidur” untuk seseorang yang disayang, tapi tidak dengan Luki. Kesibukannya seolah menyita seluruh waktu tanpa memikirkan perasaan orang yang menunggu kabar darinya.
Masalah sesederhana ini yang menyebabkan jenuhnya aku pada hubungan ini. Sebenarnya, hal kecil seperti itu juga yang bisa menunjukkan kalau dia tidak perhatian. Kalau tidak bisa perhatian sebenarnya juga bukan masalah, yang kuharapkan adalah tahu kabar dan keadaannya. Cukup itu saja. Namun, dia selalu menghilang. Pergi entah kemana, seperti ditelan bumi. Bulan Maret 2014, terucapnya kata putus untuk yang terakhir dan kami takkan pernah menyatu lagi. Kata-kata “jangan pernah ada mantan lagi, aku ingin kamu jadi ibu dari anak-anakku nanti,” hanya sekedar kata saja. Luki tidak berusaha menahanku lagi, mungkin dia juga sudah lelah dengan hubungan seperti ini. Lelah karena aku selalu menuntut dia memberiku kabar.
Kegagalan dalam sebuah hubungan pasti akan terasa sedih. Sama seperti dulu ketika aku pacaran sudah satu tahun lebih 4 bulan, tapi akhirnya kandas juga hanya karena dia ingin fokus kuliah. Dan sebenarnya mungkin bukan karena dia ingin fokus kuliah, tapi bisa jadi karena dia tidak bisa LDR (long distance relationship). Itu terjadi ketika aku awal masuk kuliah di Madiun, tepatnya waktu ospek dan dia kuliah di Jogja. Kami pacaran sejak SMA. Aku kelas XI akan naik ke kelas XII dan dia kakak kelasku. Jadi, pacaran LDR terus deh sama dia.
Kalau ditanya berapa kali aku pacaran?? Hmm.. yang serius ya 2 kali itu. Pacar sewaktu SMA dan Luki. Meskipun pernah pacaran dengan yang lain, tapi ketika putus tidak sesak dan menyedihkan seperti bersama yang serius. Cinta pertamaku, kakak kelas sewaktu SMA. Meskipun bukan pacar pertama, melainkan dialah pacar kedua dan cinta pertamaku. Begitu sakit ketika dia mengucap kata putus. Baru kali pertama merasakan putus cinta yang membuat sesak di dada. Luki adalah pacar kelima, dia orang kedua yang kuinginkan menjadi pelabuhan terakhir tapi akhirnya kandas juga. Aku yang memtuskan untuk meninggalkannya, tapi sakitnya sama seperti ketika aku ditinggal orang yang benar-benar aku sayangi.
Bulan Juli 2014, aku mendengar kalau Luki sudah punya pacar. *dieeennngg. Hatiku seperti tertusuk benda tajam ketika mendengarnya. Tiba-tiba air mata ini meleleh. Aku hanya berfikir, apa hakku untuk sedih? Apa hakku untuk sakit? Toh, dia juga cuma mantan, tidak punya hubungan apa-apa lagi selain mantan. Seharusnya, aku mendo’akannya karena dia bahagia bersama orang lain. Seharusnya, aku ikut bahagia. Sugesti dari diri sendiri itu yang menguatkan aku sampai sekarang. Aku tidak berhak lagi atas apa pun tentang Luki.
Yang namanya move on memang tak semudah yang diinginkan. Apalagi move on dari seseorang yang benar-benar diharapkan untuk menjadi pelabuhan terakhir. Apalah daya, aku dan dia memang sudah tak sejalan. Dan sekarang, Left n Right itu sudah berubah makna. Dia berjalan ke kiri sedangkan aku ke kanan. Kami sudah tidak saling menguatkan.
Dengan bibir tersenyum, aku mengirimkan sms ke Luki. Sudah lama aku tak pernah komuniksi dengan dia. Inti sms yang aku kirimkan adalah mengucapkan “selamat” karena sudah punya pacar, semoga langgeng, dan bisa saling menjaga. Kira-kira seperti itulah bunyinya. Aku tersenyum saat itu, tak setetes air mata pun jatuh seperti ketika aku mendengar dia sudah punya penggantiku. Dan dia adalah adik tingkat, semester 3.
Hal yang menyakitkan bukan karena Luki mempunyai pacar, tapi “waktu”. Secepat itu dia jatuh hati pada seseorang. Sebelum jadian denganku, sekitar 2 tahun lebih dia tidak pacaran. Tapi ketika putus denganku, belum ada 4 bulan sudah bisa mencintai orang lain. Cinta memang bisa datang kapan saja, dimana saja, kepada siapa saja. Itulah jawabannya. Aku tidak berhak untuk menyalahkan waktu. Menyalahkan waktu hanya membuat diriku terlihat bodoh. Salahku sendiri yang belum bisa move on. Salahku sendiri yang tidak bisa lebih cepat melenyapkan rasa untuk dia.
Saat ini, aku fokus untuk menyibukkan diri, memperbaiki diri, dan tidak menerima siapapun yang berusaha mengetuk pintu hatiku. Kututup rapat pintu hati ini. Aku hanya berusaha memperbaiki diri dan biarlah Tuhan yang akan mempertemukan aku dengan seseorang yang bisa menjadi pelabuhan terakhirku. Karena jodoh adalah cerminan dari diri kita, berarti jodohku juga masih berusaha memperbaiki dirinya. Aku yakin akan hal itu. Tapi aku tidak memutuskan tali silaturahmi, teman baru, kenalan baru, tetap kusediakan ruangan tersendiri dalam hidupku.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Hal ini bisa menjadi pengalaman untuk proses pendewasaan diri. Saat tidak sengaja bertemu Luki di kampus, tidak ada lagi perasaan sesak dan sakit seperti dulu. Inilah salah satu proses ikhlas. Mengikhlaskan yang memang bukan milik kita. Semua yang ada di dunia ini hanya titipan sementara dan kapan pun bisa diambil oleh pemiliknya. Lain kali, sayangi seseorang secukupnya supaya kalau kehilangan orang yang disayang, sakit dan kecewa juga secukupnya. Kita tidak akan merasakan sedih berlarut-larut karena terlalu merasa terluka. Setiap lika-liku kehidupan yang kita lewati adalah pengalaman berharga yang tidak dapat dibeli dengan segudang uang. Jalani kehidupan ini dengan harapan dan do’a kepadaNya. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Putus cinta bukan akhir dari dunia. Putus cinta membuatku lebih kreatif, bisa mengolah kata, dan membuat sedikit cerita meskipun mungkin ada bahasa yang sulit dipahami pembaca.
Pada intinya, teruslah berjalan!
Perbaiki diri!
Jalan masih panjang terbentang.
Sebelum kata terlambat menghampiri. 🙂